Dilansir dari kompas.com pada jumat, 13 desember 2019, Mentri pendidikan dan kebudayaan Nadiem Makarim mengklarifikasikan bahwa UN tidak dihapus, hanya diganti. Beliau juga mengatakan bahwa kata mengahpus itu hanya digunakan untuk headline di media agar di klik.
Masih dari sumber yang sama, disebutkan beberapa alasan mengapa UN digantikan. UN dinilai terlalu fokus pada hafalan saja, malah tidak menyentuh aspek kognitif dan karakter siswa. UN dinilai hanya menilai aspek memori saja karena banyaknya mata pelajaran dan materi yang di ujiakan, akhirnya siswa menghafalnya.
Alasan lain yang menguatkan untuk mengganti sistem UN ini adalah karena UN dinilai memberatkan berbagai pihak, mulai dari siswa, orang tua, hingga guru. Ketua Ikatan Guru Indonesia M. Ramli Rahim menjelaskan bahwa UN lebih banyak mudlorotnya dibanding dengan manfaatnya. Beliau juga menjelaskan bahwa berapa banyak biaya yang dikeluarkan orang tua untuk mempersiapkan UN anaknya. Mulai dari bimbingan belajar, membeli buku-buku latihan dan lain sebagainya.
setiap UN berlangsung tidak dipungkiri bahwa ada saja oknum yang menggunakan kesempatan ini untuk melakukan tindak kejahatan demi menghasilkan rupiah. Contohnya sering terjadi praktik jual beli kunci jawaban. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa praktik ini sangat marak. Bahkan di beberapa kasus seorang guru ikut terlibat dalam praktik tersebut. Bukan hanya merugikan negara, praktik ini juga merugikan siswa karena tidak percaya diri dalam menghadapi ujian. Kejujuran yang seharusnya ditanamkan kepada setiap anak, harus hilang karena satu hal, yakni ujian nasional.
Tidak hanya itu, besarnya anggaran penyelenggaraan UN juga menjadi alasan mengapa sistem UN yang berlaku saat ini harus digantikan. Ramli Rahim menyebutkan bahwa ditahun 2019 kemendikbud menyiapkan anggaran sebesar Rp.210 miliar untuk UN. Andai saja anggaran ini dialokasikan untuk pengangkatan guru, maka pemerintah mampu mengangkat 3.500 guru dengan pendapatan Rp. 5 Juta perbulan, lanjutnya.
Setelah keputusan penggantian sistem UN ini di ketok palu, maka Nadiem mengenalkan sistem tersebut. Hal ini telah dijelaskan Nadiem pada rapat kerja dengan komisi X DPR RI. Sistem tersebut adalah asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Asesmen karakter minimum merupakan asesmen untuk mengukur kemampuan minimum yang dibutuhkan siswa, dan materi yang dinilai meliputi literasi, numerisasi dan penguatan pendidikan karakter.
Literasi adalah kemampuan bernalar menggunakan bahasa, tidak hanya membaca, literasi juga mencakup kemampuan untuk memahami dan menganalisis konsep dibalik tulisan tersebut. Sedangkan numerisasi adalah kemampuan menganalisis menggunakan angka-angka.
Begitulah konsep yang ditawarkan, mengenai mekanismenya masih belum dipaparkan dan mungkin sedang dalam masa penggodokan. Sebagai calon guru tentu kita berharap sistem yang ditawakan ini lebih baik dan berhasil dari sistem sebelumnya.